Friday, July 20, 2012

Untuk Ibu 2

Berhari-hari ibu jatuh sakit, badannya lemas dan beliau sering sesak napas, begitu kata bi Inah kepadaku. Karena aku sedang melanjutkan studiku di universitas di luar kota, otomatis aku tak bisa memantau kesehatan ibu setiap hari. Kata bi Inah ayah hanya pulang untuk makan malam di rumah bersama istri mudanya, tentu saja tak mungkin ayah melirik kondisi ibu.

Karena kekhawatiran ku kepada ibu amatlah besar kuputuskan untuk pulang kerumah. Beliau sangatlah senang atas kehadiranku, dan beliau sempat bertanya bagaimana dengan kuliah ku, aku pun hanya bisa menjawab bahwa aku sedang libur masa uts, padahal seminggu ini ujian sedang
berlangsung.
Seminggu berlalu, kuputuskan untuk membawa ibu ke rumah sakit, karena sakit yang ibu derita tak kunjung membaik. Dan hasil pemeriksaan dokter pun keluar, ibu terkena kanker paru-paru. Hatiku bagai teriris pisau yang amat tajam, namun pisau itu seperti mengirisku secara perlahan-lahan, sehingga hatiku teramat perih.
Malam setelah itu, kuputuskan untuk menghubungi ayah, bahwa ibu harus rawat inap di rumah sakit. Namun apadaya, beliau sama sekali tidak khawatir, meluangkan waktunya sedikit untuk ibu pun tidak. Dan yang kutahu dari Bi Inah beliau sering mabuk-mabukan bersama istri mudanya di rumah. Ya Tuhan? Kapan semua ini berakhir?

~~~

“Aku tak mau! Aku tak mau menandatanganinya! Kamu busuk! Kamu ayah yang jahat untuk anak kita! Semua uang ini aku tabung untuk dia! Bukan untuk kamu yang tak jelas uang ini mau kau kemanakan! Kau sudah hancur Danang Wibowo Aji! Kau sudah hancur! Semua perusahaanku yang kuberikan padamu, kau telantarkan begitu saja! Semua perusahaan kita hilang ditangan investor lain! Selama ini kau hanya bersenang-senang saja! Padahal aku sudah mengijinkanmu menikah lagi, kenapa sekarang kau berani-beraninya ingin menyentuh uang hak anak kita?”
“Beraninya kau berkata itu padaku! Aku suami mu! Aku berhak menentukan! Aku yang berhak memegang semua uang itu!”
“Tidak kau tidak berhak sama sekali! Uang dan aset ini untuk anak kita! Semua ini aku simpan untuk anak kita!”
“Kau sudah bau tanah! Aku bisa menjaga anak kita! Tapi bagaimana aku bisa menjaganya kalau semua aset mu tak kau keluarkan untukku!”
“Aku akan mengeluarannya ketika Beny sudah siap nanti! Ini semua untuk dia! Bukan untuk kamu Danang! Bukan kamu!”
“Kau harus menandatanginya, kau harus! Jika tidak! Akan ku bakar kau bersama anak emasmu itu!”
“Setega itu kah kau selama ini! Ingat kau dulu bersumpah mencintai ku! Mencintai anak kita! Dan inikah yang balasan mu?!”
“CUKUP! Hanya satu tanda tangan dan semua ini akan usai!”

~~~

Beberapa bulan pun berlalu dan apa yang terjadi? Istri muda ayah kabur bersama semua uang, dan aset-aset yang ibu simpan selama ini. Ayah syok, beliau tampak kacau. Tak ada sepatah kata yang beliau katakan. Hanya malu yang beliau rasakan, dan itu tampak jelas dari raut wajahnya.

~~~

Setahun setelah kejadian itu, rumah beserta harta kami, disita bank untuk menutupi segala hutang ayah. Ibu terpaksa keluar rumah sakit, karena kami tak punya apapun untuk membayar. Dan aku? Aku harus D.O dari kampus, yah karena tak sanggup membayar semua biaya keperluan kampus.
Seminggu setelah keluarnya ibu dari rumah sakit, dengan raut wajah beliau yang sudah tampak lelah. Beliau memanggilku.
“Nak, maaf kan ibu, kau jadi putus kuliah. Ibu minta maaf, ini semua salah ibu karena terlalu mempercayai ayah, ibu terlalu mencintainya,”
“Bukan, ini semua salah ayah bukan salah ibu. Ini bukan salah ibu sama sekali,” kataku sambil menangis.
“Beny Wibowo Saputra, maafkan ibu. Maafkan ibu, tak bisa menjaga dan merawat mu dengan baik, malah kamu yang sebaliknya merawat ibu, maafkan ibu nak. Ini semua karena kondisi ibu, dan sebab ibu yang tak bisa menjaga ayahmu, tak bisa melayaninya. Ini semua karena ibu,”
“Ibu sudah jangan bicara seperti itu,”
“Sudahlah Nak, tolong panggilkan ayah, ibu ingin bicara dengannya,”
"Baik bu,"

~~~

Saat itu ayah sedang di bengkel nya, ya sekarang ayah membuka bengkel kecil-kecilan di rumah. Walaupun rumah yang kami tempati adalah rumah kontrakan yang kami sewa.
“Ayah, ibu ingin berbicara dengan ayah,” kataku sambil menepuk pundak Ayah.
Ayah tak berbicara sepatah kata pun dan pergi, lalu meninggalkan tempatku berdiri.
Kulihat setelah ayah keluar dari kamar ibu, air mata beliau keluar, beliau tampak syok dan menatapku dengan tatapan sayu. Tanpa berkata-kata, aku langsung berlari kekamar ibu, ini semua sudah terlambat, ibu sudah pergi.

~~~

Kubelai rambut ibu untuk terakhir kalinya, kucium kening ibu untuk terakhir kalinya, ku peluk tubuh beliau yang kaku. Dan untuk terakhir kalinya wajah ibu nampak berseri menampakkan seulas senyum yang teramat sangat damai. Keadaan itulah yang semakin membuatku tidak merelakan kepergian ibu.
Setelah selesai pemakaman ibu, ayah pergi entah kemana. Ayah tak kunjung pulang, tak ada kabar sama sekali tentang dirinya.

~~~

Musim pun kian berganti, 5 tahun semenjak kepergian ibu, dan hilangnya ayah.
“Mas-mas, jangan berhenti disini! Itu tuh ada orang gila, saya takut. Agak sana an dikit ya mas,”
“Oke-oke mbak,”
“Berapa mas?”
“Lima puluh ribu lima ratus mbak,”
“Nih mas,”
“Kembalinya sembilan ribu lima ratus ya mbak, terima kasih,”
"Iya mas, sama-sama,"
Ku mundurkan kembali mobilku, aku ingat wajah orang gila itu, tidak asing rupa itu untukku. Ku tepikan mobilku, lalu turun dari mobil. Aku pun mendekati pria gila itu.
“Ayah…

TAMAT

No comments:

Post a Comment

Thanks for reading, I hope you enjoyed, please leave a comment to feed back.