Monday, June 25, 2012

Untuk Ibu

Hidupku sangatlah bahagia, sebagai anak tunggal serta mempunyai kedua orang tua yang serba kecukupan. Namun bukan itu bagian terbaik dalam hidupku. Sejak kecil mungkin semenjak umurku 5 tahun,  kedua orangtuaku selalu memperhatikanku. Setiap akhir pekan tepatnya, mereka meluangkan waktu sibuk mereka demi anak laki-laki semata wayang mereka ini. Mereka selalu mengajakku bertamasya di alam terbuka, untuk sekedar piknik atau jalan-jalan, mereka yakin dengan memilih tempat ini akan membuatku menjadi anak yang mandiri.  Walaupun mereka sangat memperhatikanku, mereka tidak pernah sekali pun


memanjakanku, putra semata wayang mereka. Mereka mendidikku untuk selalu berusaha ketika menginginkan sesuatu. Misalnya, bila aku menginginkan sesuatu, mereka tak langsung mengiyakan, padahal hanya dalam sekedip saja, mereka bisa membelikannya untukku. Namun, mereka selalu memberiku sebuah persyaratan, aku harus mendapatkan peringkat di kelas, atau pun menuai prestasi di sekolah, atau membantu membereskan rumaha, misalnya. Dengan begitu mereka percaya kelak aku memiliki rasa tanggung jawab dan pantang menyerah sebelum berusaha. Itulah mengapa yang membuatku sangat menyayangi kedua orang tuaku ini.


Waktu pun terus berjalan, jarum jam masih terus berputar. Saat aku berumur 14 tahun, ibuku mengalami kecelakaan sewaktu menuju salah satu anak perusahaan beliau. Kecelakaan yang menimpa beliau itu menyebabkan tubuh beliau lemah. Beliau hanya terbaring tak berdaya di atas ranjang atau hanya bisa duduk di kursi roda. Dan semenjak saat itu ayahku juga berubah. Ayahku mulai sering pulang malam dalam keadaan mabuk, dan pakaian yang beliau kenakan selalu beraroma lain, beda dengan aroma pakaian beliau pada saat akan meninggalkan rumah untuk berangkat bekerja. Beliau pun jarang sekali berbicara dengan ibuku. Hanya sekedar percakapan singkat. Itu pun hanya pada waktu sarapan.
“Ayah sudah mengurusi tagihan listrik?” tanya ibu sewaktu kita berada di meja makan.
“Sudah,” sahut ayah.
Hanya seputar itu percakapan mereka selama ini. Semenjak umurku 14 tahun itu pula, aku yang selalu mengurusi keperluan ibu. Pada saat beliau ingin makan, aku yang selalu menyuapi beliau. Saat beliau ingin kebelakang, aku yang selalu menuntun beliau berjalan. Saat ibu ingin pergi jalan-jalan keluar, aku sempatkan waktuku untuk menemani beliau. Aku hanya ingin menjadi anak yang berbakti pada orangtua, itu saja, apalagi beliau adalah orang yang paling aku sayangi. Walaupun seperti itu, beliau selalu mengerti bila aku sedang mengerjakan tugas sekolah atau aku disibukkan dengan ulangan yang begitu banyak, beliau tidak pernah menggangguku dan malah meminta pertolongan pada bi Inah pembantu kami.


Rumput masih menari-nari seirama dengan desiran angin yang tertiup, helai demi helai daun saling bergesekan mengisyaratkan keindahan yang akan abadi. Usiaku pun bertambah, 17 tahun. Ibuku masih sakit, dan sifat ayah pun masih sama pada kami, mengacuhkan kami, tak lagi memperhatikan kami. Dan sampai suatu saat ayah membawa pulang seorang wanita, seorang wanita yang mungkin umurnya lebih tua 4 sampai 5 tahun dariku.
“Siapa dia Yah?” tanya ibuku.
“Aku ingin menjadikannya istri keduaku dan kamu harus setuju,” kata ayah ku, sambil tersenyum kepada wanita itu.
Ibu menatap ayah lekat-lekat, beliau syok atas perkataan ayah barusan. Kedua buah mata ibu  pun mulai berlinang air mata. Serta merta aku marah kepada ayahku.
“Ayah semakin keterlaluan! Tega Ayah sekarang khianati ibu! Dan kau wanita jalang! Dari umur kita saja masih berdekatan? Sinting kamu ya, berani menggoda seorang yang harusnya lebih pantas jadi Ayah kamu! Pasti kau hanya ingin peras uang ayahku kan?! Sejak kapan kau cuci otak ayah ku, hah!” bentakku serta merta sambil kutunjuk-tunjuk muka wanita itu. Dan tinju ayahku pun mendarat di pipi kiriku. Karena saking kerasnya, seketika aku terjatuh ke lantai. Aku pun menatap mata ayahku tajam. Ayah tak pernah sekalipun memukulku.
“Beraninya kau membentak ayah?! Sejak kapan kau belajar untuk membentak Ayah! Dan jangan berani-beraninya kamu tunjuk-tunjuk kemuka orang, ga sopan kamu!” bentak ayah padaku, sambil merangkul wanita jalang disampingnya. Wanita jalang itu memasang wajah yang seakan-akan mengisyaratkan dia sedang ketakutan. Tambah jijik aku dibuatnya.
“Oh, jadi ini kelakuan Ayah selama ini? Pulang malam, mabuk-mabukan, jarang mengurus ibu! Jadi inikah balasan ayah setelah kesetiaan ibu pada Ayah dan balasan atas semua pemberian ibu selama ini, yang telah menyerahkan semua perusahaan ibu kepada Ayah?” sindirku kemudian sambil melirik jijik pada wanita jalang yang dirangkul oleh ayahku.
“Beraninya kamu!” bentak ayah, bersiap untuk menambahkan pukulan kembali ke pipi kiriku. Bersamaan dengan itu ibu berteriak.
“Sudah cukup! Hentikan ini semua! Sudah yah! Sudah! Aku merestui kamu menikah lagi! Tapi jangan kau sakiti anak kita!” teriak ibu sambil berusaha menggapaiku dari kursi roda beliau, sontak aku memegang ibu karena beliau hampir saja terjatuh dari kursi roda beliau. Ibu hanya menangis tersedu-sedu di pelukanku.
Begitulah malam yang paling buruk dalam hidupku. Tanggal pernikahan ayah pun di tetapkan, 2 bulan setelah kejadian malam itu.


Pada suatu senja, aku sedang menemani ibu di halaman belakang kami, aku sempatkan kesempatan itu untuk bertanya pada beliau.
“Ibu,” kataku berusaha memecah keheningan kami.
“Ya anakku?” sahut ibuku sambil menoleh padaku.
“Kenapa ibu mengijinkan ayah menikah lagi?” tanyaku sembari memegang tangan ibuku.
Keheningan pun terjadi, ibuku terdiam dan termenung sesaat.
“Anakku. Ibu tak perlu kesetiaan ayahmu, yang ibu inginkan hanyalah kebahagiaanya. Dan tak ada harta yang paling berhaga yang ibu miliki selain kamu dan kebahagiaan ayahmu. Ibu ikhlas ayahmu menikah lagi, karena ibu sadar sudah tak bisa lagi membahagiakan Ayahmu dengan raga ibu yang sekarang. Ibu ikhlas lahir batin,” kata beliau sambil menatap langit yang saat itu mendung. Tidak ada tetesan air mata yang keluar dari mata beliau.
“Tapi ibu, aku tak rela kalau ayah menikah lagi. Aku tak rela, sungguh,” sahutku sambil menggenggam tangan ibuku erat.
“Anakku, kadang kehidupan begitu pahit. Kadang kamu harus mengorbankan sesuatu untuk orang yang kamu cintai. Ibu hanya ingin Ayahmu bahagia,” kata ibuku kemudian, sambil menatap mataku.
Hujan pun turun, suara tetesan air hujan terdengar, rintik demi rintik seperti bersenandung mengenai atap rumah kami, menghapus keheningan kami berdua. Kumandang adzan Magrib pun samar-samar terdengar.
“Kita sholat dulu, kita jernihkan pikiran. Kita minta kedamaian hati pada Yang Maha Kuasa,” kata ibu, sembari menarik tanganku.
“Mari bu,” sahutku sembari menggapai pegangan kursi roda ibu, dan mendorongnya masuk kedalam rumah.

Bersambung...

Sumber gambar:

14 comments:

  1. :3 apik apik. saya tunggu sambungannya :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. wkwkwk, jik bingung ending e yan.. :3

      Delete
    2. sesungguhnya membuat ending itu adalah bagian paling susah dalam membuat karya, setidaknya menurutku :D

      Delete
    3. Ya... apalagi kalau cerpennya berat seperti cerpenmu yan... sumpah aku masih kepikiran >,<

      Delete
  2. sesungguhnya membuat ending itu bagian paling susaaaah salam suatu karya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. udah dapet gambaran sih... tapi lagi cari niat buat nulis lanjutannya :D

      Delete
  3. wah,menyentuh gini cerpennya...
    ayooo...di tunggu sambungannya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. sebenernya membosankan :D
      Tapi makasih :D
      ni coba2 bikin cerbung aja yang ... yah seperti itu :~D

      Delete
  4. jadi terharu.. :)
    dan menyentuh banget.,

    ReplyDelete
  5. walo ceritanya agak sedikit familiar bagiku, karna mungkin cerita ini sudah sering ku baca, tapi mungkin kamu punya ending yang berbeda :)

    ditunggu lanjutannya !

    ReplyDelete
  6. di tunggu endingnya :)
    salam kenal ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa.. tapi kayaknya masih lama.. hadee..
      yak makasi kunjungannay :D

      Delete

Thanks for reading, I hope you enjoyed, please leave a comment to feed back.